Anak-anak dan remaja, termasuk mereka yang duduk di bangku sekolah, juga rentan menghadapi masalah kesehatan mental ringan hingga serius. Waktu belajar di tengah pembatasan aktivitas saat pandemi, meskipun bisa diatasi dengan teknologi digital, tetap menimbulkan masalah sosial emosional. Narasi tentang wellbeing atau kesejahteraan anak yang juga berpihak pada isu kesehatan mental pun mengemuka.
Kondisi tersebut kian memperparah dunia pendidikan di Indonesia yang selama ini mengagung-agungkan pencapaian akademik. Pendidikan dianggap berhasil jika semua siswa lulus dengan nilai baik. Bahkan, ada yang tidak peduli meraihnya dengan cara-cara curang sekalipun. Banyak anak yang sebenarnya merasa lelah dengan sistem pendidikan yang tidak mengutamakan pembangunan relasi dan kesadaran diri secara bermakna dan menyenangkan. Namun, mereka tidak berdaya.
Muhammad Ali Sodikin, Guru SMK Negeri 1 Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Kamis (18/5/2023), mengubah fokusnya yang dulunya melulu memastikan anak-anak punya nilai baik, kini mengutamakan untuk membangun konektivitas hubungan guru-anak didik. Apalagi dirinya menghadapi siswa yang berada di fase remaja yang berisiko menghadapi masalah kesehatan mental.
”Selama ini guru tidak menyadari soal pentingnya memahami kesehatan mental para remaja. Guru hanya fokus pada konten materi dan kurikulum, Bahkan, dulu saya guru yang galak dan keras, yang maunya dihormati dan tidak salah. Sulit untuk memahami perspektif anak,” cerita Ali yang kini bergiat di komunitas Guru Sekolah Menyenangkan (GSM). Komunitas ini mengajak guru untuk menjalankan pendidikan yang memanusiakan anak, yang memerdekakan.
Praktik-praktik kecil pun mulai dilakukan Ali untuk menyentuh sisi mental para siswa, termasuk membiasakan belajar membangun kesadaran diri. Tiap hari sekitar 15 menit sebelum pelajaran mulai atau setelah pelajaran usia, Ali meminta anak-anak membuat satu lingkaran besar yang dinamakan circle time.
Saat circle time, guru melemparkan permasalahan sosial yang ada di sekitar atau di masyarakat, dan memberi ruang bagi anak-anak untuk memecahkan masalah tersebut secara bergantian. Semua pendapat didengarkan dan dihargai. Di sinilah, anak-anak belajar untuk saling menghargai, menghormati, dan mendorong keberanian untuk berbicara.
Menurut Ali, dengan pendekatan anak-anak diberi ruang berekspresi dan ruang dialektika saat circle time, mereka akan mampu berkarya melebihi ekspektasi guru. “Sebagai guru SMK, saya tidak ingin terjebak mencetak anak-anak didik yang siap kerja sesuai kebutuhan industri. Apalagi sekarang ada robot dan kecerdasan buatan, siswa bisa kalah. Namun, dengan memperhatikan sosial emosi, anak yang punya perasaan butuh dihargai, diakui keberadaan, mereka jadi berbeda dengan robot,” tutur Ali.
Ali mulai menghargai kebaikan-kebaikan yang dilakukan para siswa, meskipun sederhana sekadar memasangkan helm temannya saat praktik. Hubungan yang terbangun erat antara guru dan siswa pun membuat jiwa kemanusiaan anak-anak didik terbangun.
”Rasanya bahagia ketika berpisah dengan anak-anak, mereka memeluk erat dengan sepenuh hati,” kata Ali.
Guru-guru yang mau berubah untuk melakukan banyak kebaikan kepada siswa dan sekolah juga didukung lewat latihan kepemimpinan transformasional bagi para pendidik yang dilakukan Indonesian Overseas Alumni (IOA) di Sumba Timur, Wonosobo, dan Lombok Barat. Para guru disentuh hatinya untuk mau berubah menjadi pemimpin perubahan yang berdampak pada anak-anak. Guru yang selama ini terlambat, hanya peduli nilai anak, menganggap tugasnya sekadar mengajar, kemudian bangkit menjadi sosok guru panutan dan penuh kasih sayang.
Kesehatan mental guru
Kesejahteraan lahir batin atau wellbeing dalam diri seorang guru penting untuk ditumbuhkan. Para guru bukan hanya sosok profesional, namun juga seorang manusia yang menghadapi tantangan kehidupan. Perhatian pada guru bukan saja tentang bagaimana meningkatkan kapasitas profesional mereka, melainkan kemampuan mereka mengelola stres atau tekanan dalam hidupnya.
Anger and Stress Management Specialist Bagia Arif Saputra menuturkan, guru terbiasa menjadi pemimpin di kelas, diandalkan para siswa dan orangtua. Akibatnya, para guru harus merasa menunjukkan sisi dirinya yang paling kuat.
Baca Juga : Izihealth.com

Oleh karena itu, para guru perlu berani memunculkan sisi kemanusiaannya. Seorang guru wajar jika merasa tidak baik-baik saja. Dia harus mengizinkan dirinya memproses stres yang dihadapinya, baik karena pekerjaannya maupun masalah lain di luar sekolah.
”Stres itu bisa muncul karena ada faktor pemicu dari dalam dan luar. Stres wajar saja dan itu bisa dikelola. Keterampilan mengelola stres ini berguna untuk guru agar tetap dapat hadir di kelas secara profesional. Dampaknya juga baik bagi siswa karena bisa mencontoh gurunya,” ujar Bagia.
Dunia pendidikan kini dirasa perlu mengambil momentum pandemi Covid-19 untuk kembali menelisik sistem pendidikan yang menyeimbangkan tujuan akademik dan sosial emosional demi membantu anak-anak menggapai secara penuh potensi diri sesuai keunikan mereka.
Wellbeing pun menjadi narasi yang coba didekatkan dalam sistem pendidikan supaya generasi masa depan memiliki keseimbangan dalam mengembangkan kemampuan intelegensia, sosial-emosional, dan spiritual.
Newsletter World Innovation Summit for Education (WISE) Global Summit 2021 yang digelar di Qatar memberi tempat bagi anak-anak untuk bersuara atau disebut generation unmute. Wacana tentang kesehatan mental dikemukakan bahwa ini bukan hanya tanggung jawab orangtua untuk memastikan anak-anak mereka bahagia. Masalah mental dan emosional, seperti depresi, bunuh diri, kesepian, dan kekurangan tujuan hidup, sudah menjadi masalah yang umum di masyarakat sehingga harus diatasi bersama.
Riset OECD periode tahun 2020-2021 menunjukkan, anak muda usia 15-24 tahun mengalami masalah kesehatan mental yang semakin tinggi. Lalu, narasi untuk mulai memerhatikan aspek sosial-emosional atau menghadirkan tujuan wellbeing dalam pendidikan pun mulai ditekankan.
Bahkan, OECD merilis suatu kajian faktor X atau non-akademik yang diuji di PISA 2018 pada tahun 2021. Setelah anak-anak usia 15 tahun di 75 negara dites sains, matematika, dan literasi, ternyata ada faktor non-akademik yang penting, yakni growth mindset atau pola pikir bertumbuh yang harus mulai diajarkan ke anak-anak supaya mereka menjadi sosok yang terus berproses dan tidak berhenti belajar. Capaian akademik yang baik akan mengikuti jika para siswa disiapkan dengan pola pikir bertumbuh melalui dukungan guru/sekolah dalam pembelajaran.
Master Coach Growth Mindset Djohan Yoga mengatakan, guru-guru yang mendukung tumbuhnya anak-anak dengan pola pikir bertumbuh membuat sekolah dan kampus tidak lagi gersang, tetapi hijau. Guru dan anak-anak percaya diri untuk belajar berama karena mereka tak lagi takut belajar meskipun awalnya salah, tetapi dalam prosesnya bertumbuh menjadi lebih baik.
”Kalau siswa memiliki mindset bertumbuh, anak-anak akan suka menghadapi tantangan, mereka selalu terinspirasi, dan dapat menerima masukan untuk membuat dirinya lebih baik. Anak-anak akan bahagia dan siap menghadapi situasi yang semakin tidak pasti dengan keyakinan bisa menjalaninya,” ujar Djohan.
Pendiri GSM, Muhammad Nur Rizal, menuturkan, transformasi pendidikan di Indonesia bukan sekadar mengubah kurikulum, melainkan yang sangat penting justru membuat proses pendidikan yang menyenangkan yang mendukung kodrat anak berkembang sesuai potensi unik mereka. ”Jika tidak, bukan learning loss yang terjadi, melainkan double learning loss. Anak-anak tak belajar dan secara sosial-emosi juga tertekan,” ujar Rizal.
Di berbagai sekolah yang bergabung di komunitas akar rumput GSM yang tersebar di banyak daerah, lingkungan belajar positif menjadi salah satu hal penting untuk membuat anak-anak bahagia selama berada di sekolah. Pembelajaran yang berbasis sosial emosional siswa dikedepankan.
Anak-anak dihargai bukan lagi dengan angka sebagai ukuran pencapaian akademik tetapi keunikan anak dalam bentuk apa saja turut dihargai. Setiap anak mendapatkan bintang kebaikan, bukan hanya untuk anak-anak yang mendapat nilai ujian bagus atau punya prestasi kejuaraan.
Sementara itu, program sekolah penggerak dan guru penggerak yang menjadi bagian Merdeka Belajar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sejak 2020, menggaungkan agar sekolah dan guru memperkuat ekosistem pembelajaran yang menerapkan pendidikan holistik dan berpusat pada siswa. Bahkan, dengan pemberlakuan Asesmen Nasional sejak 2021 yang dilaporkan tiap tahun lewat Rapor Pendidikan, kinerja sekolah tak hanya diukur dari pencapaian akademik dan karakter siswa, tetapi penciptaan lingkungan belajar yang positif juga wajib dipenuhi sekolah dan guru.
Dalam konteks global, UNESCO pada 2022 mempromosikan pentingnya menjadikan pengejaran kebahagiaan sebagai prinsip panduan semua tempat belajar. Proyek Sekolah Bahagia (Happy School Project/HSP) yang digagas UNESCO Bangkok 2014 dengan proyek percontohan Asia Pasifik.
Program HSP menawarkan pendekatan alternatif untuk meningkatkan pengalaman belajar dengan memprioritaskan kebahagiaan sekolah. Dengan fokus pada kesejahteraan, keterlibatan, dan rasa memiliki di sekolah, HSP membantu menumbuhkan kecintaan belajar seumur hidup. Proyek ini menargetkan kebahagiaan sekolah demi kebahagiaan siswa karena sekolah merupakan tempat pengembangan masyarakat yang holistik dan berkelanjutan yang mencakup guru, orangtua, staf, dan pemimpin sekolah.
Hadirnya sekolah-sekolah yang memerhatikan sosial dan emosi anak membuat siswa termotivasi untuk memiliki kesadaran diri sebagai fondasi membangun sikap pembelajar sepanjang hayat. Bekal ini akan membuat siswa siap menyongsong masa depan dengan perubahan yang tak pasti dan cepat.
Pandemi Covid-19 dan disrupsi digital telah membuka mata sekolah, guru, orangtua, dan pemerintah bahwa pendidikan tak bisa lagi dijalankan seperti sebelumnya. Tidak hanya perlu membangun kemampuan akademik, tetapi pendidikan harus dapat membangun keseimbangan antara olah pikir, olah rasa dan karsa, olah hati, dan olahraga.